MAKALAH FUNGSI HADIS TERHADAP AL-QUR'AN




BAB I
PENDAHULUAN

           Islam sebagai agama mempunyai makna bahwa Islam memenuhi tuntutan kebutuhan manusia dimana saja berada sebagai pedoman hidup baik bagi kehidupan duniawi maupun bagi kehidupan akhirat. Dimensi ajaran Islam memberikan aturan bagaimana caranya berhubungan dengan Tuhan atau khaliq, serta aturan bagaimana caranya berhubungan dengan sesama makhluk, termasuk didalamnya persoalan dengan alam.

          Allah SWT mengutus para nabi dan rasulnya kepada umat manusia untuk memberi petunjuk kepada jalan yang benar agar mereka bahagia di dunia dan akhirat. Rasulullah lahir ke dunia ini dengan membawa risalah Islam, petunjuk yang benar, hukum syara’ seperti al Qur’an dan al Hadits.
 Tidak semua ayat al Qur’an dapat dipahami secara tekstual. Al Qur’an menekankan bahwa rasul memiliki tugas untuk menjelaskan  maksud dan isi dari al Qur’an. Al-Quran dan hadits mempunyai hubungan yang sangat erat dimana keduanya tidak dapat dipisahkan meskipun ditinjau dari segi penggunaan hukum syari’at, hadis mempunyai kedudukan sederajat lebih rendah dibandingkan al Qur’an. Hadits merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al Qur’an. Keberadaan hadits dalam kehidupan masyarakat menjadi penting tatkala dalam al Qur’an tidak memberikan  penjelasan yang detail mengenai suatu permasalahan. Hal ini akan terasa sekali ketika seseorang membaca atau mendapati ayat-ayat al Qur’an yang masih sangat global, tidak terperinci, dan sering terdapat keterangan-keterangan yang bersifat tidak muqoyyad  seperti perintah  tentang  kewajiban shalat. Dalam al Qur’an tidak dijelaskan bagaimana cara seseorang untuk mendirikan shalat, berapa raka’at shalat, apa yang harus dibaca dalam shalat, dan  apa saja syarat  dan rukunnya. Akan  tetapi, dari hadist kita dapat mengetahui tata caranya sebagaimana yang telah disyariatkan. Oleh karenanya, keberadaan hadist menjadi hal yang urgen melihat fungsi umum hadist menjadi bayan atau penjelas ayat-ayat al Qur’an yang masih butuh kajian lebih dalam untuk mengetahui  makna yang sesungguhya.

 Jika umat islam mempunyai pengetahuan yang sedikit tentang hadist, maka akan sangat sulit bagi kita untuk menelaah lebih dalam dan memahami ayat-ayat al-Qur’an. Terkait dengan hal diatas, maka penulis dalam  makalah ini akan menguraikan tentang apa  fungsi hadits terhadap al Qur’an dan  bagaimana pendapat para ulama tentang fungsi hadits dalam Islam.














BAB II.
PEMBAHASAN

1.Fungsi Hadis terhadap Al Qur’an

                Al Qur’an dan Hadits sebagai pedoman hidup sumber hukum dan ajaran Islam, tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Al Qur’an sebagai sumber pertama memuat ajaran ajaran yang bersifat mujmal atau umum dan global sedangkan hadits sebagai sumber yang kedua berfungsi sebagai pemberi penjelasan atas keumuman isi al Qur’an tersebut. Hal ini sesuai dengan Q.S  an Nahl ayat 44:
وانزلنا اليك الذكر لتبين للناس
Artinya: “…dan kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia….”
Allah menurunkan Az Zikr (Al Qur’an) bagi umat manusia agar dapat dipahami, oleh karena itu maka Allah memerintahkan Rasulullah SAW untuk menjelaskannya. Dalam menetapkan hukum, umat Islam mengambil hukum hukum Islam dari al Qur’an yang diterima dari rasul SAW, yang dalam hal ini al Qur’an membawa keterangan keterangan yang bersifat mujmal atau keterangan yang bersifat mutlaq. Karena sifatnya yang mujmal, maka banyak hukum dalam al Qur’an yang tidak dapat dijalankan bila tidak diperoleh syarah atau penjelas yang terkait  dengan syarat- syarat, rukun-rukun, batal-batalnya dan  lain lain dari hadits Rasulullah SAW. Dalam hal ini banyak juga kejadian yang tidak ada nash yang menashkan hukumnya dalam al Qur’an secara tegas dan jelas. Oleh karena itu diperlukan ketetapan dan penjelasan nabi yang telah diakui utusan Allah untuk menyampaikan syariat dan undang undang kepada umat .[1]
Firman Allah :

لقد هن الله على الموءمنين اذابعث فيهم رسولامن انفسهم يتلواعليهم ءا يته و يزكيهم ويعلمهم الكتبو الحكمة وان كانوا من قبل لفى ضلل مبين
Artinya:  ”Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al Kitab dan al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.
(Q.S: Ali Imran Ayat: 164).
  
   Sudah kita ketahui bahwa hadis mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam. Ia menempati  posisi kedua setelah Al Qur‟an. Al Qur‟an sebagai sumber ajaran pertama memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum (global), yang perlu dijelaskan lebih lanjut dan terperinci. Di sinilah, hadis menduduki dan menempati fungsinya sebagai sumber ajaran kedua
 
 Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan
kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (Q.S. An-Nahl [16]:44)

Dalam hubungan dengan Al Qur‟an, hadis berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas dari ayat-
ayat Al Qur‟an tersebut. Apabila disimpulkan tentang fungsi hadis dalam hubungan dengan Al Qur‟an adalah sebagai berikut.[2]

Jumhur ulama  berpendapat bahwa kata hikmah diatas berarti keterangan keterangan agama yang diberikan Allah kepada Nabi mengenai hikmat dan hukum yang disebut sunnah atau hadits.[1]
Hadits adalah sumber kedua bagi hukum hukum Islam, menerangkan segala yang dikehendaki al Qur’an, sebagai penjelas, pensyarah, penafsir, pentahsis, pentaqyid dan yang mempertanggungkan kepada yang bukan zahirnya.
Para ulama sepakat menetapkan bahwa hadits berkedudukan dan berfungsi untuk menjelaskan al Qur’an.[2] Banyak ayat al Qur’an dan hadist Rasulullah SAW yang memberikan penegasan bahwa hadist merupakan sumber hukum Islam selain al Qur’an yang wajib diikuti.
a)  Dalil al Qur’an
قل اطيعوا الله و الر سول فاءن تولوا فاءن الله لا يحب الكا فرين
Artinya: ”Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (Q.S. al Imran: 32)
b)   Hadits Rasulullah SAW.
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله و سنة نبيه
Artinya: “Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya”.
 Berdasarkan ayat diatas, hadits merupakan  salah satu sumber pegangan kita dalam menjalani kehidupan ini yang harus kita ikuti agar kita bahagia hidup di dunia dan di akherat. Hal ini juga ditunjukkan oleh hadits Muadz,  juga sikap khulafaur rasyidun, bahwa hukum syara’ pertama tama di dapat dari al Qur’an, kalau tidak ditemukan di dalamnya, dicari dari sunnah atau hadits.[3]
Sehubungan dengan hadits sebagai bayan alQur’an, maka hadits  memiliki  4 macam  fungsi    terhadap al Qur'an yaitu:

 1.Bayan At-Tafsir

       Yang  dimaksud  dengan bayan at-tafsir  adalah menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal , dan musytarak . Fungsi hadis dalam hal ini adalah memberikan perincian (tafshil) dan penafsiran terhadap ayat-ayat
Al Qur‟an yang masih mujmal, memberikan taqyid  ayat-ayat yang masih muthlaq, dan memberikan takhsish ayat-ayat yang masih umum. Di antara contoh bayan at-tafsir mujmal adalah seperti hadis yang menerangkan ke-mujmal-an ayat-ayat tentang perintah Allah SWT untuk mengerjakan shalat, puasa, zakat, dan haji. Ayat-ayat Al Qur‟an yang menjelaskan masalah ibadah tersebut masih bersifat global atau secara garis besarnya saja. Contohnya, kita diperintahkan shalat, namun Al Qur‟an tidak menjelaskan bagaimana tata cara shalat, tidak menerangkan rukun-rukunnya dan kapan waktu pelaksanaannya. Semua ayat tentang kewajiban shalat tersebut dijelaskan oleh Nabi SAW dengan sabdanya
 
 
            Dalam hal ini hadits berfungsi memberikan perincian dan penafsiran terhadap ayat ayat   al Qur'an. Hadits sebagai tafsir terhadap al Qur'an terbagi setidaknya menjadi 3 macam fungsi, yaitu:[5]
a. Menjelaskan ayat ayat yang mujmal.
Hadis disini berfungsi  menjelaskan  segala sesuatu yang berhubungan dengan ibadah dan hukum hukumnya dari segi praktik,  syarat, waktu  dan tata caranya seperti dalam masalah shalat.
 Ayat-ayat al Qur'an tentang masalah tersebut masih bersifat mujmal, baik mengenai cara mengerjakan, sebab-sebabnya, syarat-syarat, ataupun halangan-halangannya. Oleh karena itulah, Rasulullah SAW melalui hadisnya menafsirkan dan menjelaskan seperti disebutkan dalam hadis
 صلوا كما رايتمونى اصلى

Artinya: “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat“ ( HR Ahmad dan Bukhari dari Malik bin  Al Huwairits).
            Hadis ini menerangkan kemujmalan al Qur’an tentang shalat, firman Allah SWT.
واقيمواالصلاة واتوا الزكاة واركعوا مع الر كعين
Artinya: “ Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’ (Q.S. al-Baqarah:  43).
Contoh lainnya yaitu hadits  dalam hal pelaksanaan  ibadah haji wada’ Rasulullah SAW bersabda:
خذوا عنى منا سككم
Artinya: ”Ambilah dariku manasik hajimu”. ( HR. Muslim, Abu Daud dan An Nasa’i).
Hadits ini merincikan kemujmalan firman Allah SWT sebagai berikut:

واتموا الحج والعمرة لله
Artinya: ”Sempurnakanlah ibadah haji dan ibadah umrahmu karena Allah”. (Q.S. al Imran: 196)
b. Menghususkan ayat ayat al Qur’an yang  bersifat umum .
              Dalam hal ini hadits memperkhusus ayat-ayat al Qur'an yang bersifat umum, dalam ilmu hadis disebut takhshish al ‘amm.[6] Takhshîsh al-’âm ialah sunnah yang mengkhususkan atau mengecualikan ayat yang bermakna umum.
Sabda Rasululah SAW:

احلت لنا ميتتان و د مان فا ما الميتتان الحوت والجراد و اما الدمان فاالكبد والطحال
.
Artinya: ”Telah dihalalkan kepada kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Yang dimaksud dua macam bangkai adalah bangkai ikan dan bangkai belalang. Sedangkan yang dimaksud dua macam darah adalah hati dan limpa”.  (Hadits Riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Baihaqi).
Hadits ini mentahsis  ayat al Qur'an yang mengharamkan semua bangkai dan darah, sebagaimana firman Allah SWT :
حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الحنزير
Artinya: ”Diharamkan atasmu bangkai, darah dan daging babi” (Q.S. al Maidah: 3).
            Dalam ayat ini tidak ada pengecualian bahwa semua bangkai dan darah diharamkan untuk dimakan akan tetapi  Sunnah Rasulullah SAW di atas mentakhshish atau mengecualikan darah dan bangkai tertentu.
Sabda Rasul SAW:
لا يرث المسلم الكافر ولا الكا فر المسلم
 Artinya: ”Seorang muslim tidak mewarisi orang kafir dan yang kafir tidak mewarisi seorang muslim”.(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Hadits ini mentahsis firman  Allah SWT:
يوصيكم الله في اولا دكم للذكر متل حص الا نثيين
 Artinya: ”Allah mewasiatkan bahwa hak anakmu laki-laki adalah dua kali hak anakmu yang perempuan”. (Q.S. An Nisa: 11).
            Dalam ayat ini tanpa kecuali atau berlaku umum bahwa semua anak mendapat warisan. Sedangkan keberlakuan hukum tersebut hanya untuk anak yang agamanya sama muslim. Sunnah Rasul memberikan takhshish atau pengcualian dengan sabdanya di atas:
c. Membatasi lapaz yang masih mutlaq dari ayat ayat al Qur'an (Sebagai Bayanul Muthlaq).

          Hukum yang ada dalam al Qur'an bersifat mutlak amm (mutlak umum), maka dalam hal ini hadits membatasi kemutlakan hukum dalam al Qur'an.  Sedangkan contoh hadits yang membatasi (taqyid) ayat-ayat al Qur’an yang bersifat mutlak adalah seperti Sabda Rasullullah:

 أتي رسول الله صلى الله عليه و سلم بسارق فقطع يده من مفصل الكف
Artinya: ”Rasullullah didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan”.
Hadits ini men-taqyid  firman Allah yang berbunyi:
والسارق و السارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بما كسبا نكالامن الله و الله عزيز حكيم
Artinya: ”Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan, dan sebagai siksaan dari Allah sesungguhnya Allah maha Mulia dan Maha Bijaksana”.( Q.S. al Maidah: 58).

   Dalam ayat di atas belum ditentukan batasan untuk memotong tangannya. Boleh jadi dipotong sampai pergelangan tangan saja, atau sampai siku-siku, atau bahkan dipotong hingga pangkal lengan karena semuanya itu termasuk dalam kategori tangan.  Akan tetapi, dari hadist nabi tersebut, kita dapat mengetahui ketetapan hukumnya secara pasti yaitu memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan.
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (Q.S. An-Nahl [16]:44)

Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat.
 (H.R. Bukhari) Sebagaimana hadis tersebut, Rasul memberikan contoh tata cara shalat yang sempurna. Bukan hanya itu, beliau melengkapi dengan berbagai kegiatan yang dapat menambah pahala ibadah shalat. [3]

2.Bayan At-Taqrir

 Bayan at-taqrir atau sering juga disebut dengan bayan at-ta’kid  dan bayan al-itsbat  adalah hadis yang berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al Qur‟an. Dalam hal ini, hadis hanya berfungsi untuk memperkokoh isi kandungan Al Qur’an [4]

  Dalam hal ini posisi hadits sebagai taqrir (penguat) yaitu menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan dalam al Qur’an. Fungsi hadits disini hanya memperkokoh isi kandungan al Quran. Seperti hadits tentang shalat, zakat, puasa dan haji, merupakan penjelasan dari ayat shalat, ayat zakat, ayat puasa dan ayat haji yang tertulis dalam al Qur'an.
Contoh: Hadits Nabi tentang melihat bulan untuk puasa Ramadhan

صو مو ا لرءويته و افطروالرءويته
Artinya: ”Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu sesudah melihatnya”. (HR. Muttafaq alaih).
Hadits ini menguatkan firman Allah SWT

فمن شهد منكم الشهر فليصمه
Artinya: ”Barangsiapa diantara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah”. (Q.S. Al  Imran: 185)
Hadits di atas dikatakan  bayan taqrir terhadap ayat al Qur'an, karena maknanya sama dengan al Qur'an, hanya lebih tegas ditinjau dari bahasanya maupun hukumnya.



 3.Bayan At-Tasyri’

 Yang dimaksud dengan bayan at-tasyri’  adalah memunculkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al-Qur‟an hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja. Abbas Mutawalli Hammadah juga menyebut  bayan ini dengan “za‟id „ala al kitab al karim”.Hadis-hadis Rasul SAW, yang masuk dalam bayan tasyri‟ ini diantaranya hadis tentang haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya), hukum syuf‟ah, hukum rajam pezina wanita yang masih belum bersuami, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak.

  Bayan at tasyri’ adalah menetapkan  hukum atau   aturan aturan yang tidak didapati dalam al Qur’an. Hal ini berarti bahwa  ketetapan  hadits  itu   merupakan ketetapan  yang bersifat  tambahan  hal-hal  yang  tidak disinggung  oleh alQur’an dan hukum hukum itu  hanya berasaskan  hadis semata mata.
            Hadis Rasulullah SAW dalam segala bentuknya (baik yang qauli, fi’il maupun taqriri) berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang tidak terdapat dalam al Qur’an. Beliau berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat atau yang tidak diketahuinya, dengan memberikan bimbingan dan menjelaskan persoalannya.
Suatu contoh hadis tentang zakat fitrah sebagai berikut:

أن الرسول الله صلى الله عليه و سلم فرض زكاة الفطر من رمضان على الناس صاعا من تمر أو صاعا من شعير على كل حر أو عبد ذكر أو أنثى من المسلمين  (رواه المسلم )
Artinya: ”Bahwasanya Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuam muslim”.(HR. Muslim).
     Hadits Rasulullah yang termasuk bayan al-tasyri’ ini, wajib diamalkan, sebagaimana mengamalkan hadits-hadits lainnya.[5]


B. PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG FUNGSI HADITS DALAM ISLAM

Sehubungan dengan fungsi hadist sebagai penjelas terhadap al Qur’an tersebut, para ulama berbeda pendapat dalam merincinya lebih lanjut.[11]
      a.   Pendapat Ahl ar-Ra’yi .
    Menurut pendapat Ulama Ahl ar-Ra’yi, penerangan al Hadits terhadap al Qur’an terbagi menjadi tiga yaitu:

1.   Bayan Taqrir
Yakni keterangan yang didatangkan  oleh as-Sunnah untuk menambah kokoh apa yang telah diterangkan oleh al Qur’an.
2.  Bayan Tafsir
Yakni menerangkan apa yang kira-kira tidak mudah diketahui pengertiannya yaitu   ayat-ayat yang mujmal dan mustarak fihi.
3.   Bayan Tabdil, Bayan Nasakh
  Yakni mengganti sesuatu hukum atau menasakhkannya. Menasakhkan al Qur’an dengan al Qur’an menurut Ulama Ahl ar-Ra’yi, boleh. Menasakhan al Qur’an dengan as-Sunnah itu boleh jika as-Sunnah itu  mutawatir, masyhur, atau mustafidh.[12]
b.   Pendapat Malik
Malik berpendirian bahwa bayan (penerangan) al Hadits itu terbagi menjadi lima yaitu:
1.   Bayan at-Taqrir
Yakni metetapkan dan mengokohkan hukum-hukum al Qur’an, bukan mentaudhihkan, bukan mentaqyidkan muthlaq dan bukan mentakhsihkan ‘aam.
2.  Bayan at-Taudhih (Tafsir)
Yakni menerangkan maksud-maksud ayat, seperti hadits-hadits yng menerangkan maksud ayat yang dipahami oleh para sahabat berlainan dengan yang dimaksudkan oleh ayat.

3.  Bayan at-Tafshil
Yakni menjelaskan mujmal al Qur’an, sebagai hadits yang men-tafshil-kan kemujmalan.
4.   Bayan Tasyri’
Yakni mewujudkan suatu hukum yang tidak tersebut dalam al Qur’an, seperti menghukum dengan bersandar kepada seorang saksi dan sumpah apabila si mudda’i tidak mempunyai dua orang saksi, dan seperti ridha’ (persusuan) mengharamkan pernikahan antara keduanya.
c.  Pendapat As-Syafi’i
As-Syafi’i di antara Ulama Ahl al-Atsar menetapkan, bahwa penjelasan al Hadits terhadap al Qur’an dibagi terbagi lima, yaitu:
1.  Bayan Tafshil, menjelaskan ayat-ayat yang mujmal yang sangat ringkas petunjuknya
2.  Bayan Takhsish, menentukan sesuatu dari umum ayat.
3.  Bayan Ta’yin, menentukan nama yang dimaksud dari dua      tiga perkara yang mungkin dimaksudkan.
4.  Bayan Tasyri’, menetapkan suatu hukum yang tidak didapati dalam al Qur’an.
5.  Bayan Nasakh, menentukan mana yang dinasikhkan dan mana yang dimansukhkan dari  ayat-ayat al Qur’an.
d. Pendapat hambali
1.  Bayan Ta’kid yaitu Menerangkan apa yang dimaksudkan oleh al Qur’an.
2.  Bayan Tafsir yaitu Menjelaskan sesuatu hukum dalam al Qur’an.
3. Bayan Tasyri’ yaitu Mendatangkan suatu hukum yang tidak ada hukumnya dalam al Qur’an.
4. Bayan Takhsish dan Taqyid  yaitu  Mengkhususkan al Qur’an dan mentaqyidkannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka hadis merupakan dasar hukum Islam setelah al Qur’an. Umat Islam harus mengikuti petunjuk hadis sebagaimana dituntut untuk mengikuti petunjuk al Qur'an. Allah memerintahkan kita mengikuti Rasul sebagaimana mentaati Allah. Firman Allah:
وما اتا كم الر سول فخذو ه ومانهاكم عنه فانتهو
Artinya:  ”Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”. (Q.S. al Hasyr: 7)
واطيعوا الله و الرسول لعلكم ترحمون
Artinya: ”Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. (Q.S ali Imran:132)
Mengikuti rasul, atau menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya adalah mengikuti sunnahnya atau haditsnya yang berupa perkataan, perbuatan taqrir dan sebagainya.Wajib mengikuti rasul merupakan kewajiban  dan berlaku untuk semua umat untuk seluruh masa dan tempat. Oleh karena itu semua hadis yang diakui sahih dan tidak berlawanan dengan suatu petunjuk al Qur'an sama sama wajib diikuti oleh semua umat.
A.    PENGERTIAN UMMUL HADITS
Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan), atau sifat.[6][1]
Hadits menurut bahasa artinya baru. Hadits juga secara bahasa berarti “sesuatu yang dibicarakan dan dinukil”, juga “sesuatu yang sedikit dan banyak”. Bentuk jamaknya adalah ahadits. Adapun firman Allah Ta’ala,


“Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada hadits ini” (Al-Kahfi [18] : 6). Maksud hadits dalam ayat ini adalah Al-Qur’an.
Juga firman Allah,


“Dan adapun nikmat Tuhanmu, maka sampaikanlah.” (Adh-Dhuha [93] : 11). Maksudnya: sampaikan risalahmu, wahai Muhammad.
Haditst menurut istilah ahli, hadits adalah: Apa yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan sifat, atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau sesudahnya.
Sedangkan menurut ahli ushul fisih, hadits adalah perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam setelah kenabiannya. Adapun sebelum kenabian tidak dianggap sebagai hadits, karena yang dimaksud dengan hadits adalah mengerjakan apa yang menjadi setelah kenabian.[7][2]
Kata “al hadits” dapat juga dipandang sebagai istilah yang lebih umum dari kata “as sunnah”. Yang mencakup seluruh yang berhubungan dan disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan istilah “as sunnah” digunakan untuk perbuatan (‘amal) dari Nabi SAW saja.[8][3]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Buku-buku yang di dalamnya berisi tentang khabar Rasulullah, antara lain adalah Tafsir, Sirah dan Maghazi (peperangan Nabi –Edt, dan Hadits. Buku-buku hadits adalah lebih khusu berisi tentang hal-hal sesudah kenabian, meskipun berita tersebut terjadi sebelum kenabian. Namun itu tidak disebutkan untuk dijadikan landasan amal dan syariat.[9][4]
Ulumul Hadits adalah istilah Ilmu Hadits di dalam tradisi Ulama Hadits (Arabnya : ‘Ulum al Hadits). ‘Ulum al Hadits terdiri atas dua kata yaitu ‘Ulumu dan al Hadits. Kata ‘Ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm jadi berarti “ilmu-imu”. sedangkan al Hadits di kalangan Ulama’ Hadits berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqri atau sifat”. Dengan demikian ‘Ulum al Hadits  mengandung pengertian ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadits Nabi”.
Secara umum para ulama Hadits membagi Ilmu Hadits kepada dua bagian, yaitu Ilmu Hadits Riwayah (‘ilm al Hadits Riwayah) dan Hadits Dirayah (‘ilm al Hadits Dirayah):
a.       Pengertian Ilmu Hadits Riwayah
Ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang mengandung pembicaraan tentang penukilan sabda-sabda Nabi, perbuatan-perbuatan beliau, hal-hal yang beliau benarkan, atau sifat-sifat beliau sendiri, secara detail dan dapat dipertanggungjawabkan.[10][5]
Menurut Ibn al-Akfani, sebagaimana yang di kutip oleh Al-Suyuthi, yaitu Ilmu Hadits yang khusus berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi SAW dan perbuatannya, pencatatannya, serta periwayatannya, dan penguraian lafaz-lafznya.
Menurut Muhammad `Ajjaj al-Khathib, yaitu Ilmu yang membahas tentang pemindahan (periwayatan) segala sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi SAW, berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan atau pengakuan), sifat jasmaniah, atau tingkah laku (akhlak) dengan cara yang teliti dan terperinci.
Menurut Zhafar Ahmad ibn lathif al-`Utsmani al-Tahanawi di dalam
Qawa`id fi `Ulum al-Hadits, yaitu Ilmu Hadits yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui dengannya perkataan, perbuatan, dan keadaan Rosul SAW serta periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadits Nabi SAW serta periwayatan, pencatatan, dan penguraian lafaz-lafaznya.
Dari ketiga definisi di atas dapat di pahami bahwa Ilmu Hadits Riwayah pada dasarnya adalah membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadits Nabi SAW.
Objek kajian Ilmu Hadits Riwayah adalah Hadits Nabi SAW dari segi periwayatannya dan pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup:
-          Cara periwayatan Hadits, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga cara penyampaiannya dari seorang perawi kepada perawi yang lainnya;
-          Cara pemeliharaan Hadits, Yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan dan pembukuannya.
Sedangkan tujuan dan urgensi ilmu ini adalah: pemeliharaan terhadap Hadits Nabi SAW agar tidak lenyap dan sia-sia, serta terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam proses periwayatannya atau dalam penulisan dan pembukuannya.

b.      Pengertian Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu hadits dirayah yaitu satu ilmu yang mempunyai beberapa kaidah (patokan), yang dengan kaidah-kaidah itu dapat diketahui keadaan perawi (sanad) dan diriwayatkan (marwiy) dari segi diterima atau ditolaknya.[11][6]
Para ulama memberikan definisi yang bervariasi terhadap Ilmu Hadits Dirayah ini. Akan tetapi, apabila di cermati definisi-definisi yang mereka kemukakan, terdapat titik persamaan di antara satu dan yang lainnya, terutama dari segi sasaran kajian dan pokok bahasannya.
Menurut ibnu al-Akfani, ilmu hadits yang khusus tentang Dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.
Menurut Imam al-Suyuti merupakan uraian dan elaborasi dari definisi diatas, yaitu Hakikat Riwayat adalah kegiatan periwayatan sunnah (Hadits) dan penyandarannya kepada orang yang meriwayatkannya dengan kalimat tahdits, yaitu perkataan seorang perawi “haddatsana fulan”, (telah menceritakan kepada kami si fulan), atau ikhbar, seperti perkataannya“akhbarana fulan”, (telah mengabarkan kepada kami si fulan).
Menurut M. `Ajjaj al-Khatib dengan definisi yang lebih ringkas dan komprehensif, yaitu Ilmu Hadits Dirayah adalah kumpulan kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi dari segi di terima atau ditolaknya.
Al-rawi atau perawi adalah orang yang meriwayatkan atau menyampaikan Hadits dari satu orang kepada yang lainnya.
Al-marwi adalah segala sesuatu yang diriwayatkan, yaitu sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi SAW atau kepada yang lainnya seperti Sahabat atau Tabi`in.
Keadaan perawi dari segi diterima atau ditolaknya adalah mengetahui keadaan para perawi dari segi jarh danta`dil ketika tahammul dan adda` al-Hadits, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dalam kaitannya dengan periwayatan Hadits.
Keadaan marwi adalah segala sesuatu yang berhubungan denganittishal al-sanad (persambungan sanad) atau terputusnya, adanya `illat atau tidak, yang menentukan diterima atau ditolaknya suatu Hadits.






B.     SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU HADITS
Selama dua puluh tiga tahun Rasulullah SAW mencurahkan segala aktifitasnya untuk mendakwahkan Islam kepada umat manusia sehingga belahan dunia (Arab) tersinari oleh agama yang hanif ini.[12][7]
Perkembangan ilmu hadits selalu beriringan dengan pertumbuhan pembinaan hadits itu sendiri. Hanya saja ia belum wujud sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada saat Rasulullah SAW masih hidup ditengah-tengah kaum muslimin, ilmu ini masih wujud dalam bentuk prinsip-prinsip dasar, yang merupakan embrio bagi pertumbuhan ilmu hadits dikemudian hari. Misalnya tentang pentingnya pemeriksaan dan tabayyun, terhadap setiap berita yang didengar, atau pentingnya persaksian orang adil dan sebagainya. Firman Allah dalam (Al-Hujurat [49] : 6) menyatakan:


“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”
Demikian pula dalam (Al-Thalaq [65] : 2)
...وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا.......persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar.”
      Ayat di atas jelas memberikan perintah kepada kaum muslimin supaya memeriksa, meneliti dan mengkaji berita yang dating, khususnya berita yang dibawa oleh orang-orang fasiq. Tidak semua berita yang datang pasti diterima sebelum diperiksa siapa pembawanya dan apa materi isinya. Jika pembawanya orang terpercaya dan adil, maka pasti diterima. Tetapi sabaliknya, jika mereka tidak jujur dan fasik, tidak obyektif, maka berita akan ditolak.
      Sepeninggal Rasulullah SAW, para sahabat Nabi sangat hati-hati dalam periwayatan hadits, karena konsentrasi mereka masih banyak tercurahkan kepada al-Qur’an, yang baru mulai dibukukan pada zaman khalifah Abu Bakar dan disempurnakan pada saat sahabat Utsman bin Affan menjadi Khalifah. Selanjutnya ketika mulai terjadi konflik politik, yang memicu munculnya firqah di kalangan kaum muslimin ; Syi’ah, Murji’ah dan Jama’ah, dan pada gilirannya mendorong timbulnya periwayatan yang dimanipulasi, dipalsukan dan direkayasa, maka para ulama bangkit untuk membendung pemalsuan dan menjaga kemurnian hadits Nabi. Dari usaha ini, terbentuklah teori-teori tentang periwayatan. Keharusan menyertakan sanad menjadi bagian penting yang dipersyaratakan dalam setiap periwayatan. Hal ini telah dilakukan antara lain oleh Ibnu Syihab al-Zuhri ketika menghimpun hadits dari para ulama.
      Ketika para ulama hadits membahas tentang kemampuan hafalan / daya ingat para perawi (dhabit), membahas bagaimana system penerimaan dan penyampaian yang dipergunakan (tahammul wa ada’ al-hadits), bagaimana cara menyelesaikan hadits yang tampak kotradiktif, bagaimana memahami hadits yang musykil dan sebagainya, maka perkembangan ilmu hadits semakin meningkat. Ketika Imam al-Syafi’i (wafat 204 H) menulis kitab al-Risalah, sebenarnya ilmu hadits telah mengalami perkembangan lebih maju, sebab di dalam kitab tersebut telah dibahas kaidah-kaidah tentang periwayatan, hanya saja masih bercampur dengan kaidah ushul fiqih. Demikian pula dalam kitab al-Umm. Di sana telah ditulis pula kaidah yang berkaitan dengan cara menyelesaikan haadits-hadits yang bertentangan, tetapi masih bercampur dengan fiqih. Artinya ilmu hadits pada saat itu sudah mulai tampak bentuknya, tetapi masih belum terpisah dengan ilmu lain, belum menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
      Sesudah generasi al-Syafi’i, banyak sekali para ulama yang menulis ilmu hadits, misalnya Ali bin al-Madini menulis kitab Mukhtalif al-Hadits, Ibnu Qutaibah (wafat 276 H ) menyusun kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadits. Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab shahihnya, Al-Turmudzi menulis al-Asma’ wa al-Kuna, Muhammad bin Sa’ad menulis al-Thabaqat al-Kubra. Demikian pula al-Bukhari menulis tentang rawi-rawi yang lemah dalam kitab al-Dlu’afa’. Dengan banyaknya ulama yang menulis tentang persoalan yang menyangkut ilmu hadits pada abad III H ini, maka dapat difahami mengapa abad ini disebut sebagai awal kelahiran Ilmu Hadits, walaupun tulisan yang ada belum membahas ilmu hadits secara lengkap dan sempurna.
      Penulisan ilmu hadits secara lebih lengkap baru terjadi ketika Al-Qadli Abu Muhammad al-Hasan bin Abd. Rahman al-Ramahurmudzi (wafat 360 H) menulis buku Al-Muhaddits al-Fashil Baina al-Rawi wa al-Wa’i. Kemudian disusul al-Hakim al-Naisaburi (wafat 405 H) menulis Ma’rifatu Ulum al-Hadits,al-Khathib Abu Bakar al-Baghdadi menulis kitab Al-Jami’ li Adab al-Syaikh wa al-Sami’, al-Kifayah fi Ilmi al-Riwayat dan al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami’.

C.     CABANG-CABANG ILMU HADITS
Diantara cabang-cabang besar yang tumbuh dari Ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah ialah:
a.       Ilmu Rijalul Hadits
Yaitu ilmu yang membahas para perawi hadits, baik dari sahabat, dari tabi`in, mupun dari angkatan-angkatan sesudahnya. Hal yang terpenting di dalam ilmu Rijal al-Hadits adalah sejarah kehidupan para tokoh tersebut, meliputi masa kelahiran dan wafat mereka, negeri asal, negeri mana saja tokoh-tokoh itu mengembara dan dalam jangka berapa lama, kepada siapa saja mereka memperoleh hadits dan kepada siapa saja mereka menyampaikan hadits.
Ada beberapa istilah untuk menyebut ilmu yang mempelajari persoalan ini. Ada yang menyebut Ilmut Tarikh, ada yang menyebut Tarikh al-Ruwat, ada juga yang menyebutnya Ilmu Tarikh al-Ruwat.
Ilmu Rijalul Hadits, dinamakan juga dengan Ilmu Tarikh Ar-Ruwwat (Ilmu Sejarah Perawi) adalah ilmu yang diketaui dengannya keadaan setiap perawi hadits, dari segi kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, orang yang meriwayatkan darinya, negeri dan tanah air mereka, dan yang selain itu yang ada hubungannya dengan sejarah perawi dan keadaan mereka.[13][8]

b.      Ilmu Tarikh Rijal Al-Hadits
Adalah ilmu yang sangat membantu untuk mengetahui derajat hadits dan sanad (apakah sanadnya muttashil atau munqathi’).

c.       Ilmu al-Jarh wa al-Ta`dil
Secara bahasa, Al-Jarh adalah ism masdhar yang berarti luka yang mengalirkan darah atau sesuatu yang dapat menggugurkan ke ‘adalahan seseorang.
Menurut istilah, Al-Jarh yaitu terlihatnya sifat seseorang perawi yang dapat menjatuhkan ke ‘adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudan ditolak.
At-Tajrih yaitu memberikan sifat kepada seseorang perawi dengan sifat yang menyebabkan pendhaifan riwayatnya, atau tidak diterima riwayatnya.
Secara bahasa, Al-‘Adlu adalah apa yang lurus dalam jiwa, lawan dari durhaka, dan seorang yang ‘adil artinya kesaksiannya diterima, dan At-ta’dil artinya mensucikannya dan membersihkannya.
Menurut istilah, Al ‘Adlu adalah orang yang tidak nampak padanya apa yang dapat meruak agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima beritanya dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikannya hadits.
At-Ta’dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat sifat yang mensucikannya, sehingga nampak ke’adalahannya, dan diterima beritanya.
Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil yaitu ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta`dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu.[14][9]

d.      Ilmu Mukhtalif al-Hadits
Adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang tampaknya saling bertentangan. Lalu menghilangkan pertentangan itu atau mengkompromikannya, disamping membahas hadits-hadits yang sulit difahami atau dimengerti. Kemudian menghilangkan kesulitan tersebut serta menjelaskan hakikatnya.
Oleh karena itu sebagian ulama menamai ilmu ini dengan ilmu musykilul Hadits, ada juga yang menamainya ilmu Ikhtilaful hadits, ilmu Ta’wilul Hadits dan ilmu Talfiqul Hadits. Seangkan obyek pembahasan ilmu ini adalah hadits-hadits yang tampaknya berlawanan, untuk kemudian dikompromikan kandungan dengan jalan membatasi (taqyid) kemutlakannya, mengkhususkan (takhshish) keumumannya dan lain sebagainya. Atau mentakwilkan hadits-hadits yang musykil hinga hilang kemusykilannya.[15][10]

e.       Ilmu `Ilalil Hadits
‘Ilal adalah jamak dari ‘illah, artinya penyakit. ‘Illah menurut istilah ahli hadits adalah suatu sebab yang tersembunnyi yang dapat mengurangi status keshahihan hadits padahal zhahirnya tidak nampak ada cacat.[16][11]
Ilmu ‘Illal hadits yaitu ilmu yang membahas tentang sebab-sebab tersembunyi dari segi keberadaannya mencacatkan hadits, me-muttasil-kan (menyambung hadits) yang munqathi’ (terputus sanadnya), me-marfu’-kan (menyandarkan kepada Nabi SAW) hadits yang mauquf (tidak sampai kepada Nabi SAW atau terhenti pada sahabat), memasukkan suatu hadits kedalam hadits lain, mencampuradukkan sanad dengan matan atau yang lainnya.

f.       Ilmu Gharibul-Hadits
Yaitu ilmu (pengetahuan) untuk mengetahui lafadz-lafadz dalam matan-matan hadits yang sulit lagi sukar difahami disebabkan karena jarang sekali digunakan.
Dari ta’rif (definisi) diatas, nyata bagi kita bahwa obyek dari ilmu gharibul hadits adalah kata-kata yang musykil (sukar) dan susunan kalimat yang sulit difahami maksudnya. Hal ini dimaksudkan agar orang tidak menafsirkan secara menduga-duga dan mentaqlidi pendapat orang yang bukan ahlinya.[17][12]

g.      Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadits
Nasikh artinya menghapus atau menghilangkan, sedangkan masukh adalah yang dihapus atau dihilangkan. Menurut ulama ushul Naskh adalah penghapusan oleh syari’ (pembuat hukum dalam hal ini adalah Allah dan Rasul-Nya SAW) terhadap suatu hukum syara’ dengan dalil syar’iy yang datang kemudian.[18][13]
Ilmu nasikh dan mansukh hadits yaitu ilmu yang membahas Hadits-hadits yang bertentangan dan tidak mungkin di ambil jalan tengah. Hukum hadits yang satu menghapus (menasikh) hukum Hadits yang lain (mansukh). Yang datang dahulu disebut mansukh, dan yang muncul belakangan dinamakan nasikh. Nasikh inilah yang berlaku selanjutnya.

h.      Ilmu Asbab Wurud al-Hadits (sebab-sebab munculnya Hadits)
Yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menuturkan itu. Seperti di dalam Al Qur`an dikenal adalah Ilmu Asbab al-nuzul, di dalam Ilmu hadits ada Ilmu Asbab wurud al-Hadits. Terkadang ada hadits yang apabila tidak di ketahui sebab turunnya, akan menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak di amalkan. 

i.        Ilmu Mushthalah Hadits
Ilmu musthalah hadits adalah ilmu tentang dasar dan kaidah yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan dari segi diterima dan ditolaknya. Obyeknya adalah sanad dan matan dari segi diterima dan ditolaknya. Manfaat ilmu ini adalah membedakan hadits shahih dari yang tidak shahih.






















BAB III
 PENUTUP.


KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan.
1. Al Qur'an dan Hadits adalah sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam, antara satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain, hadist adalah sumber hukum Islam kedua setelah al Qur’an. Hadits sebagai penjelas (bayan) terhadap al Qur’an mempunyai empat(4) macam fungsi, yaitu:
a.   Bayan al-taqrir di sebut juga dengan bayan al-ta’qid dan bayan al-isbat yaitu   menetapkan dan memperkuat apa yang telah di terangkan dalam al Qur’an
b.  Bayan al-tafsir adalah fungsi hadits yang memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al Qur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan atau batasan (taqyid)  ayat-ayat al Qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhshish) ayat al Qur’an yang masih bersifat umum.
c.  Bayan at-tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al Qur’an atau dalam al Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya saja
d. Bayan at-nasakh yaitu penghapusan hukum Syar'i dengan suatu dalil syar'i  yang datang kemudian
2. Pendapat Para Ulama Tentang Fungsi Hadits Dalam Islam
a.  Menurut Pendapat Ahl ar-Ra’yi  meliputi bayan taqrir, bayan tafsir, bayan tabdil/bayan nasakh.
b.   Menurut Pendapat Malik meliputi  bayan at-taqrir, bayan at taudlih, bayan tafshil, bayan tasyri’.
c.   Menurut  Pendapat Asy-Syafi’y meliputi   bayan Tafshil, bayan Takhsish,   bayan Ta’yin,  bayan Tasyri’,   bayan Nasakh,
d.  Menurut Pendapat Imam Hambali meliputi bayan ta’kid, bayan tafsir, bayan tasyri’, bayan takhsish dan taqyid

 1.Bayan At-Tafsir
2.Bayan At-Taqrir
 3.Bayan At-Taqrir



[1] Al Qardhawi, Yusuf. Pengantar Studi hadit  (Bandung: Pustaka Setia, 2007).
Muhaimin dkk. Studi Islam Dalam Rangka Dimensi dan Pendekatan (Jakarta: Kencana, 2012).
[2] Ulum Al-Hadis Kajian Mushthalah dan Sejarah.Kudus: MASEIFA Jendela Ilmu
Muhammad Ma‟shum Zein. 2008. M. Alawi Al Maliki, Ilmu Ushul Hadits  ( Yogyakarta:  Pustaka Pelajar,  2006),  h. 10.

[3] Khaeruman, Badri. Ulum Al Hadis  (Bandung: Pustaka Setia, 2009).
[4] Muhaimin dkk. Studi Islam Dalam Rangka Dimensi dan Pendekatan (Jakarta: Kencana, 2012
[5]  Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis  (Malang: UIN Malang Press, 2008),  h. 17.













[19] Muhaimin. dkk.,  Studi Islam dalam Rangka Dimensi dan Pendekatan,  (Jakarta: Kencana, 2012),  h. 135
  Badri Khaeruman, Ulum Al Hadis  (Bandung:  Pustaka Setia,  2009),  h. 46.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surah Al ma'idah Ayat 4

Surah AL MA'IDAH AYAT 3